Langkah Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang turut mengeluarkan fatwa dalam persoalan BBM (Bahan Bakar Minyak) turut mengundang banyak cibiran dari berbagai publik.
Salah satu pihak yang kurang setuju dengan fatwa MUI ini adalah Ekonom Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang, Titik Sumiati. Kamis (30/06) kemarin, dia mengatakan persoalan BBM ini bukan ranah yang harus menjadi urusan MUI.
"Fatwa haram MUI tidak cocok sama sekali untuk persoalan ini, jadi dengan fatwa tersebut seolah-olah masyarakat ditakut-takuti, padahal kan seharusnya MUI harus menangani masalah yang ada hubungannya dengan masalah religi.
Titik pun menyarankan kepada Pemerintah agar melihat terlebih dahulu patokan harga dasar secara obyektif.
"Pemerintah harus melakukan penghitungan harga BBM secara obyektif dan bukan penghitungan secara politis," katanya.
Pendapat senada juga disampaikan ekonom dari Universitas Diponegoro Semarang, FX. Sugiyanto yang berpendapat fatwa haram orang kaya membeli BBM bersubdisi dari MUI tidak akan efektif.
"Seharusnya pemerintah tidak masuk ke wilayah agama, karena akan lebih terukur jika menggunakan kebijakan atau regulasi," kata FX. Sugiyanto.
Menurutnya, pengeluaran fatwa tersebut akan terbentur dari keyakinan pribadi masing-masing dan perilaku seseorang. Oleh karena itu, upaya yang lebih tepat adalah dengan kebijakan.
Penerapan pajak untuk mobil tertentu (milik masyarakat mampu – red), tambah FX. Sugiyanto, justru akan lebih efektif meskipun akan memberikan konsekuensi pada dunia industri.
Sebelumnya, MUI telah mengeluarkan Fatwa No 22 tentang Pertambangan Ramah Lingkungan tertanggal 26 Mei 2011. Proses pertambangan harus sesuai aturan dan untuk kesejahteraan rakyat.
MUI mengeluarkan fatwa masyarakat golongan mampu yang memakai premium merupakan perbuatan dosa, karena mengambil hak orang yang tidak mampu.
Salah satu pihak yang kurang setuju dengan fatwa MUI ini adalah Ekonom Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang, Titik Sumiati. Kamis (30/06) kemarin, dia mengatakan persoalan BBM ini bukan ranah yang harus menjadi urusan MUI.
"Fatwa haram MUI tidak cocok sama sekali untuk persoalan ini, jadi dengan fatwa tersebut seolah-olah masyarakat ditakut-takuti, padahal kan seharusnya MUI harus menangani masalah yang ada hubungannya dengan masalah religi.
Titik pun menyarankan kepada Pemerintah agar melihat terlebih dahulu patokan harga dasar secara obyektif.
"Pemerintah harus melakukan penghitungan harga BBM secara obyektif dan bukan penghitungan secara politis," katanya.
Pendapat senada juga disampaikan ekonom dari Universitas Diponegoro Semarang, FX. Sugiyanto yang berpendapat fatwa haram orang kaya membeli BBM bersubdisi dari MUI tidak akan efektif.
"Seharusnya pemerintah tidak masuk ke wilayah agama, karena akan lebih terukur jika menggunakan kebijakan atau regulasi," kata FX. Sugiyanto.
Menurutnya, pengeluaran fatwa tersebut akan terbentur dari keyakinan pribadi masing-masing dan perilaku seseorang. Oleh karena itu, upaya yang lebih tepat adalah dengan kebijakan.
Penerapan pajak untuk mobil tertentu (milik masyarakat mampu – red), tambah FX. Sugiyanto, justru akan lebih efektif meskipun akan memberikan konsekuensi pada dunia industri.
Sebelumnya, MUI telah mengeluarkan Fatwa No 22 tentang Pertambangan Ramah Lingkungan tertanggal 26 Mei 2011. Proses pertambangan harus sesuai aturan dan untuk kesejahteraan rakyat.
MUI mengeluarkan fatwa masyarakat golongan mampu yang memakai premium merupakan perbuatan dosa, karena mengambil hak orang yang tidak mampu.