Happy Saputra merupakan segelintir warga Indonesia keturunan Tionghoa yang menjadi perwira polisi, sebuah pilihan yang dibentuk oleh sikap keluarganya yang tidak disibukkan oleh sebutan sebagai kelompok minoritas.
"Mama selalu bilang 'kamu beda, tetapi bukan berarti berbeda'," kata Happy Saputra yang lulus dari Sekolah Akademi Kepolisian di Semarang, setahun lalu.
"Dalam arti tak boleh membeda-bedakan diri, walaupun kamu keturunan Tionghoa, tetapi kamu tetap harus berbaur," jelas Happy saat ditemui BBC di asrama Polda Jawa Timur di Surabaya.
Lelaki kelahiran 4 Juli 1984 ini sekarang bertugas di Polres Ponorogo, Jawa Timur, dengan pangkat Inspektur tingkat dua atau Ipda.
Happy lulus cemerlang dari akademi kepolisian sebagai 20 orang lulusan terbaik. Dia sempat pula dipilih mengikuti pertukaran taruna kepolisian ke Korea Selatan dan Jepang.
Namun demikian Happy yang punya nama lain Law Kwan Kwang ini mengaku apa yang dilakoninya sekarang tidak datang dengan tiba-tiba.
Bukan penghinaan
Nasihat sang ibu agar dia berbaur dengan warga mayoritas etnis Betawi di lingkungan tempat tinggalnya di kawasan Kalisari, Jakarta Timur, membuatnya "tidak pilih-pilih teman".
"Saya pun berteman dengan tukang ojek (di lingkungan tempat tinggalnya), karena saya suka motor. Sehingga ketika saya dewasa, mereka tahu saya. Mereka bahkan menyebut saya 'Oh itu Si Acong anaknya Soi Song'… Mereka menyebut hal seperti itu bukan untuk menjelekkan, tapi cuma label, karena banyak panggilan saya, seperti Acong, Ahong, Encek, Cokin. Tapi saya senang," jelas Happy seraya tertawa lebar.
Happy tidak setuju jika panggilan seperti itu disebut sebagai bentuk penghinaan.
"Kalau penghinaan, berarti saya akan disakiti. Tapi mereka care (perhatian) dengan saya," tandas Happy, anak ketiga dari empat bersaudara, dari pasangan Syahrial Efay dan Songgowati Tjoeng ini.
Sikap seperti ini kemudian mengantarnya masuk sekolah menengah atas negeri, yang lebih dari 85% siswanya beragama Islam dan bukan etnis Tionghoa.
Di SMA Negeri 98 ini, Happy kemudian bersahabat dengan teman-teman Muslim. Salah-seorang sahabatnya itulah yang kemudian mendorongnya masuk akademi kepolisian, setelah dia meraih titel sarjana dari Fakultas Ilmu Komputer, Universitas Bina Nusantara.
Dia bersama 300 orang lainnya diterima masuk akademi kepolisian yang dikenal elit itu, dari 12.000 pelamar.
Dia juga patut berbangga karena perekrutan akademi kepolisian tahun 2007 itu "dianggap paling bersih dibandingkan proses rekrutmen tahun-tahun sebelumnya".
"Rekrutmen tahun 2007, segala elemen masyarakat mulai wartawan sampai LSM, boleh melihat sampai ke dalam. Mereka bisa melihat penilaian rekrutmen Akpol. Dan saya tidak terdeteksi sedikitpun bahwa 'ini orang titipan', bahwa 'Happy bayar ke sini untuk masuk Akpol'. Semua tidak terbukti."
Bahkan menurutnya, wartawan sempat mendatangi rumahnya, saat itu. Mereka mengecek kekayaan ibunya, serta meneliti siapa saja yang dikenal ayahnya.
"Ternyata tidak terbukti semua. Inilah yang membuat saya cukup berbangga hati, karena orang tua saya cuma mengeluarkan uang Rp 38.000,00 untuk membeli meterai 3 lembar, serta uang makan," paparnya.?