Sejumlah kalangan memprediksi Jakarta akan tenggelam, meski soal waktu mereka masih berbeda pendapat. Hal ini dikarenakan aktivitas air kerap menggenangi wilayah Jakarta.
Tak hanya pada musim penghujan, di musim kemarau pun banjir kerap menggenangi wilayah Ibu Kota.
Sedikit menoleh ke belakang, hampir setiap lima tahun, hampir seluruh kawasan Jakarta tergenang banjir. Tak tanggung-tanggung, di beberapa wilayah tinggi air banjir nyaris menutupi atap rumah. Tengok saja seperti yang terjadi di Jatinegara, Kampung Pulo, Penjaringan, dan sebagainya.
Seperti tidak belajar dari pengalaman, banjir Jakarta semakin menggila jika hujan tiba. Bahkan, frekuensinya pun lebih dahsyat dari sebelumnya. Masih teringat di benak kita jika Istana Negara sempat menjadi korban banjir lima tahunan. Selain itu, sejumlah ruas protokol pun ikut tergenang dan tak bisa dilalui pengendara sepeda motor atau pun mobil.
Selain banjir tahunan, masyarakat pesisir Jakarta juga kerap disibukkan dengan air rob. Tak ada hujan dan tak ada petir, rob bisa datang kapan saja, di saat gelombang air laut sedang meninggi.
Masyarakat di pesisir Jakarta seperti Tanjung Priok dan Muara Angke seakan sudah terbiasa dengan situasi semacam ini. Mereka pun tetap menjalankan aktivitas seperti biasa kendati rumah atau tempat kerjanya tergenang air.
Ironisnya, hingga saat ini belum ada langkah kongkret yang dilakukan pemerintah. Dari tahun ke tahun, masyarakat pesisir dan masyarakat yang tinggal di bantaran kali tidak merasakan perubahan yang lebih baik. Hanya banjir dan banjir.
Pemerintah pun tak tinggal diam. Untuk mengantisipasi hal ini pemerintah mendirikan proyek Banjir Kanal Timur (BKT). Namun entah mengapa, proyek yang sempat kontroversi di masyarakat ini tidak kunjung terealisasi.
Terakhir, bukti bahwa kondisi Jakarta bermasalah adalah longsornya jalan raya di Jalan RE Martadinata, Jakarta Utara. Pengamat menilai, kejadian tersebut dikarenakan telah terjadi abrasi.
Peneliti dari Indonesia Water Institut (IWI) Firdaus Ali mengatakan, untuk mendapatkan tanah keras di Jakarta harus di kedalaman 25 sampai 40 meter. Jadi, lanjut dia, saat ini mayoritas masyarakat Jakarta berada di atas permukaan lumpur.
"Semakin lama akan menjadi penurunan dan itu sangat berbahaya. Penyebab lainnya adalah beban bangunan di Jakarta saat ini terlalu besar," ujar Firdaus, kepada okezone, beberapa waktu lalu.
Dia menambahkan, gerakan tektonik sangat berpengaruh pada kondisi tanah Jakarta. Kendati skala gerakan terbilang kecil, namun hal tersebut cukup berpengaruh kepada pergeseran tanah di Jakarta sebesar 87 persen.
"Faktor yang terpenting adalah penggunaan air tanah yang berlebihan. Hal ini memberikan pengaruh sebesar 17 persen. Pengaruhnya memang kecil, tapi jika tidak segera ditanggulangi akan berakibat besar. Persoalan ini sering dikesampingkan," tandas akademisi Universitas Indonesia ini.
Firdaus mengulas, Mexico City dan Bangkok juga pernah mengalami masalah seperti ini. Namun, mereka langsung tanggap dan langsung diatasi. Kala itu, Mexico City butuh waktu 40 tahun untuk mengalihkan penggunaan air bawah tanah ke air permukaan.