Kerja sama ph production (ph) dengan stasiun televisi menyimpan bom waktu. Ujung pangkalnya adalah pembayaran yang sering telat. Tunggakan kerja sama ini mencapai puluhan miliar. Ph mesti pintar-pintar mengelola bisnisnya
Dunia bisnis production house memang tidak senantiasa seindah penampakan sinetronnya yang banyak dibalut kemewahan. Presiden direktur trans tv ishadi s.k. Mengatakan bahwa tunggakan stasiun televisi ke ph adalah hal yang wajar, karena masih dalam batas normal bisnis televisi. "ini kan bisnis televisi, bukan jual sepeda motor. Yang penting angsuran dibayar terus dan ada komitmen membayar tidak berhenti," katanya.
Bisnis ph production company (ph) harus kuat modalnya. Bagaimana tidak, bisnis ini membutuhkan investasi untuk alat yang harganya mahal. Lalu, ada ongkos operasional yang tidak murah. Untuk memproduksi satu episode sinetron (exhibition organizer) dibutuhkan modal sekitar rp 250 juta-rp 300 juta. Adapun satu film layar lebar mencapai rp 1 miliar. Gawatnya, keuntungan juga tidak bisa langsung dinikmati. Perlu dua atau tiga bulan untuk menerima hasil keringat.
Seiring perjalanan waktu dan tren bisnis hiburan, peran ph atau exhibition organizer justru kian tergusur. Beberapa stasiun televisi mulai mengembangkan in-house production alias memberdayakan awak stasiun sendiri. Di trans tv, misalnya, tayangan produksi in house mencapai 75%, sisanya baru digarap ph. "dengan in house kita bisa lebih kreatif, cepat memutuskan perubahan program, dan lebih hemat," ujar ishadi s.k., presiden direktur trans tv.
Rcti juga mengikuti jejak trans tv. Mereka membangun in-house production yang dinamakan mnc (media nusantara citra). Cuma, karyanya baru sebatas sinetron remaja dan film televisi. Itu pun, menurut wakil direktur utama rcti sutanto hartono, sinetron produksi in house belum bisa mengimbangi kualitas produk production house jakarta. Apalagi pada awal produksi, biasanya selalu rugi belum bisa untung. "masalahnya, apakah teve punya keahlian dan komitmen atau enggak, karena awalnya negatif terus return-nya," terang sutanto.
Lantaran berkeinginan mendorong peran in-house production, tak heran jika kebijakan stasiun televisi terasa makin memberatkan ph production company. Misalnya, untuk acara pada jam prime time tak ada lagi sistem revenue sharing (bagi hasil). "kontraknya beli putus, lalu program menjadi milik mereka seumur hidup," kata leo sutanto, pemilik sinemart.
Bagi ph production house jakarta, melihat situasi seperti ini, pilihannya cuma satu. Yaitu: memperkuat daya tawar, dengan membuat program yang bagus. Atau, kalah. Maklum, saingan ph itu bak api dalam sekam.