Pastor Lawrence Andrew Jr meletakkan dokumen cukup tebal, sekitar 500 halaman, di meja ruang kerjanya saat Jawa Pos berkunjung ke kantornya di Selangor kemarin (18/1).
Dokumen tersebut merinci secara detail kronologi lahirnya gugatan kepada pemerintah yang melarang penggunaan kata Allah di tabloid Herald yang dikelolanya. ''Biar tak salah inform, saya buka dokumen ini,'' ujarnya memulai pembicaraan.
Lawrence mengisahkan, Herald sebenarnya ada sebelum Malaysia merdeka. Saat itu masih menjadi satu dengan Singapura di bawah jajahan Inggris. Ketika dua negara tersebut akhirnya berpisah dan Singapura menjadi negara lebih maju, tabloid untuk umat Katolik itu langsung diimpor dari Singapura. ''Dalam perkembangannya, umat Katolik di Singapura lebih maju daripada di Malaysia,'' tuturnya.
''Karena itu, kami merasa perlu membuat edisi yang khas Malaysia,'' lanjut Lawrence.
Setelah beberapa tahun ide tersebut dirancang, muncullah edisi pertama Herald berbahasa Melayu pada 1994. Sejak saat itu pula kata Allah sudah digunakan dalam terbitan tersebut. Karena masih baru, edisi Melayu itu hanya menjadi sisipan satu lembar dalam edisi bahasa Inggris-nya.
Karena hanya menjadi sisipan, tak banyak pihak yang mengetahui penggunaan kata Allah. Apalagi sejak diterbitkan kali pertama itu, tabloid tersebut tidak dijual dan diedarkan secara umum. ''Hanya untuk umat Katolik dan pengunjung gereja,'' jelasnya.
Selain itu, isi sisipan hanya berupa laporan berbagai kegiatan umat Katolik yang sangat jarang menyebut kata Allah.
Setelah mengalami kemajuan, Herald edisi Melayu terbit menjadi 12 halaman pada 1998. Di situlah mulai ada kolom siraman rohani yang ditulis pastor atau rohaniwan lainnya. Selain itu, ada kutipan alkitab yang ditempatkan di pojok kanan halaman depan. Karena kutipan tersebut diambil dari Injil yang dicetak dan diimpor dari Indonesia, muncullah kata Allah itu.
Mei 1998, setelah empat tahun terbit, peringatan dari pemerintah muncul. Kala itu pemerintah melarang penggunaan Allah ditulis dalam edisi Herald. Sebab, di sejumlah negara bagian di Semenanjung, kata Allah memang ekslusif hanya digunakan muslim. Namun, beberapa tahun berlalu, masalah itu tidak menjadi besar seperti saat ini.
Masalah tersebut muncul lagi pada 2002. Karena saat itu Herald masih menggunakan kata Allah dalam edisinya, pengadilan kembali mengirim surat peringatan. Kali ini, peringatan tersebut cukup keras. Yakni, pemerintah akan mencabut izin penerbitan tabloid itu.
Oleh pengelola Herald, kasus tersebut lantas diadukan kepada wakil rakyat mereka di parlemen. Melalui wakil di parlemen itulah akhirnya kasus penggunaan kata Allah tersebut sampai dibahas dalam rapat kabinet. ''Kabinet bilang tidak masalah menggunakan kata Allah,'' lanjutnya.
Beberapa tahun berlalu, masalah penggunaan kata Allah kembali mereda. Hingga pergantian pucuk pimpinan pemerintah pada 2006. Saat itu, surat teguran diikuti ancaman pencabutan izin kembali dikirim hampir setiap bulan. ''Padahal, pada zaman Mahathir (Mahathir Mohamad, PM sebelumnya, Red) hal itu tidak terjadi,'' keluh Lawrence.
Puncaknya terjadi pada 2007. Saat itu, izin edar Herald akan habis. Ketika pengelola tabloid tersebut mengajukan izin perpanjangan, mereka merasa dipersulit. Karena itu, Herald lantas mengajukan gugatan. Butuh waktu setahun untuk menunggu hingga akhirnya gugatan tersebut disidangkan. ''Barulah 31 Desember 2009 itu kami berhasil dan menang di pengadilan,'' ungkapnya.
Menurut Lawrence, kata Tuhan dan Allah itu berbeda. Dia juga membantah tuduhan pemerintah bahwa kata Allah baru saja diperkenalkan di Semenanjung. Pria yang sehari-hari juga menjadi redaktur Herald itu lalu menunjukkan Injil terbitan 1895 yang dicetak di Hongkong.
Kitab Injil tersebut menggunakan bahasa dan dialek Melayu. Bukti Injil itulah yang juga diajukan dalam Pengadilan Tinggi Kuala Lumpur dan menjadi perhatian majelis hakim. ''Dasar kami kuat, makanya kami menang,'' ujarnya.
Lawrence menuturkan, putusan hakim yang memenangkan Herald menjadi sejarah besar di Malaysia. Sebab, banyak kasus yang lebih besar akhirnya kalah di pengadilan karena intervensi kerajaan.
Meski demikian, pemerintah tidak puas atas putusan pengadilan tinggi tersebut. Karena itu, banding pun diajukan. Kerajaan juga meminta Herald tak menggunakan kata Allah sebelum ada putusan pengadilan banding.
''Kami ikuti aturan itu dan sampai saat ini, meski sudah ada putusan yang memenangkan kami, Herald sementara tak menggunakan kata Allah,'' ungkapnya. (kum)
sumber : jawapos-com
Dokumen tersebut merinci secara detail kronologi lahirnya gugatan kepada pemerintah yang melarang penggunaan kata Allah di tabloid Herald yang dikelolanya. ''Biar tak salah inform, saya buka dokumen ini,'' ujarnya memulai pembicaraan.
Lawrence mengisahkan, Herald sebenarnya ada sebelum Malaysia merdeka. Saat itu masih menjadi satu dengan Singapura di bawah jajahan Inggris. Ketika dua negara tersebut akhirnya berpisah dan Singapura menjadi negara lebih maju, tabloid untuk umat Katolik itu langsung diimpor dari Singapura. ''Dalam perkembangannya, umat Katolik di Singapura lebih maju daripada di Malaysia,'' tuturnya.
''Karena itu, kami merasa perlu membuat edisi yang khas Malaysia,'' lanjut Lawrence.
Setelah beberapa tahun ide tersebut dirancang, muncullah edisi pertama Herald berbahasa Melayu pada 1994. Sejak saat itu pula kata Allah sudah digunakan dalam terbitan tersebut. Karena masih baru, edisi Melayu itu hanya menjadi sisipan satu lembar dalam edisi bahasa Inggris-nya.
Karena hanya menjadi sisipan, tak banyak pihak yang mengetahui penggunaan kata Allah. Apalagi sejak diterbitkan kali pertama itu, tabloid tersebut tidak dijual dan diedarkan secara umum. ''Hanya untuk umat Katolik dan pengunjung gereja,'' jelasnya.
Selain itu, isi sisipan hanya berupa laporan berbagai kegiatan umat Katolik yang sangat jarang menyebut kata Allah.
Setelah mengalami kemajuan, Herald edisi Melayu terbit menjadi 12 halaman pada 1998. Di situlah mulai ada kolom siraman rohani yang ditulis pastor atau rohaniwan lainnya. Selain itu, ada kutipan alkitab yang ditempatkan di pojok kanan halaman depan. Karena kutipan tersebut diambil dari Injil yang dicetak dan diimpor dari Indonesia, muncullah kata Allah itu.
Mei 1998, setelah empat tahun terbit, peringatan dari pemerintah muncul. Kala itu pemerintah melarang penggunaan Allah ditulis dalam edisi Herald. Sebab, di sejumlah negara bagian di Semenanjung, kata Allah memang ekslusif hanya digunakan muslim. Namun, beberapa tahun berlalu, masalah itu tidak menjadi besar seperti saat ini.
Masalah tersebut muncul lagi pada 2002. Karena saat itu Herald masih menggunakan kata Allah dalam edisinya, pengadilan kembali mengirim surat peringatan. Kali ini, peringatan tersebut cukup keras. Yakni, pemerintah akan mencabut izin penerbitan tabloid itu.
Oleh pengelola Herald, kasus tersebut lantas diadukan kepada wakil rakyat mereka di parlemen. Melalui wakil di parlemen itulah akhirnya kasus penggunaan kata Allah tersebut sampai dibahas dalam rapat kabinet. ''Kabinet bilang tidak masalah menggunakan kata Allah,'' lanjutnya.
Beberapa tahun berlalu, masalah penggunaan kata Allah kembali mereda. Hingga pergantian pucuk pimpinan pemerintah pada 2006. Saat itu, surat teguran diikuti ancaman pencabutan izin kembali dikirim hampir setiap bulan. ''Padahal, pada zaman Mahathir (Mahathir Mohamad, PM sebelumnya, Red) hal itu tidak terjadi,'' keluh Lawrence.
Puncaknya terjadi pada 2007. Saat itu, izin edar Herald akan habis. Ketika pengelola tabloid tersebut mengajukan izin perpanjangan, mereka merasa dipersulit. Karena itu, Herald lantas mengajukan gugatan. Butuh waktu setahun untuk menunggu hingga akhirnya gugatan tersebut disidangkan. ''Barulah 31 Desember 2009 itu kami berhasil dan menang di pengadilan,'' ungkapnya.
Menurut Lawrence, kata Tuhan dan Allah itu berbeda. Dia juga membantah tuduhan pemerintah bahwa kata Allah baru saja diperkenalkan di Semenanjung. Pria yang sehari-hari juga menjadi redaktur Herald itu lalu menunjukkan Injil terbitan 1895 yang dicetak di Hongkong.
Kitab Injil tersebut menggunakan bahasa dan dialek Melayu. Bukti Injil itulah yang juga diajukan dalam Pengadilan Tinggi Kuala Lumpur dan menjadi perhatian majelis hakim. ''Dasar kami kuat, makanya kami menang,'' ujarnya.
Lawrence menuturkan, putusan hakim yang memenangkan Herald menjadi sejarah besar di Malaysia. Sebab, banyak kasus yang lebih besar akhirnya kalah di pengadilan karena intervensi kerajaan.
Meski demikian, pemerintah tidak puas atas putusan pengadilan tinggi tersebut. Karena itu, banding pun diajukan. Kerajaan juga meminta Herald tak menggunakan kata Allah sebelum ada putusan pengadilan banding.
''Kami ikuti aturan itu dan sampai saat ini, meski sudah ada putusan yang memenangkan kami, Herald sementara tak menggunakan kata Allah,'' ungkapnya. (kum)
sumber : jawapos-com